Kamis, 25 November 2010

Cintanya Abu Dzar kepada Rosululloh SAW

Lembah Waddan adalah sebuah area penting yang terletak antara Mekah dan Syam, karena merupakan jalur perlintasan kafilah dagang yang strategis. Di lembah itulah tinggal suku Ghifar yang terkenal. Mereka hidup dari “pajak” yang dipungut pada setiap rombongan kafilah yang melintas, bahkan tak segan merampok kafilah yang tidak membayar sesuai ketentuan yang mereka tetapkan.Pada suatu masa, ada salah seorang anggota suku Ghifar yang mengalami kegelisahan luar biasa karena mendengar selentingan berita tentang nabi baru di kota Mekah. Jundub bin Junadah, nama anggota suku itu yang kemudian dikenal sebagai Abu Dzar, merasakan kegelisahan itu begitu bergelora sampai akhirnya mendorong dirinya berangkat ke Mekah untuk mendatangi langsung sumber beritanya. Singkat cerita, datanglah Abu Dzar ke kota Mekah dan langsung jatuh cinta dengan ajaran Muhammad pada pertemuan pertama.

Abu Dzar adalah orang kelima/keenam yang pertama-tama masuk Islam. Dialah orang yang berani memproklamirkan keislamannya di tengah keramaian kota Mekah. Alhasil, dirinya menjadi bulan-bulanan dipukuli warga Mekah waktu itu, sampai dilerai oleh Ibnu Abbas yang mengingatkan warga Mekkah bahwa Abu Dzar adalah warga Ghiffar yang akan menuntut balas jika mereka membunuhnya.

Abu Dzar sangat mencintai Rasulullah dengan segenap jiwa raganya. Suatu ketika, dalam perjalanan menuju perang Tabuk (9 H), Abu Dzar tertinggal karena lambatnya unta yang dikendarai. Karena semakin tertinggal dari rombongan Rasulullah, Abu Dzar memutuskan untuk berjalan kaki. Mengetahui hal tersebut, Rasulullah memutuskan berkemah di tempat terdekat. Lama mereka menunggu di tengah panas terik padang pasir, sampai akhirnya terlihat sesosok lelaki berjalan mendekat. Seorang sahabat berseru,

“Ya Rasul, itu Abu Dzar!!”

dan Rasulullah berkata,

“Semoga Allah mengasihi Abu Dzar, ia berjalan sendirian, akan meninggal sendirian, dan dibangkitkan kelak pun sendirian”.

Abu Dzar tiba dengan tubuh lemah dan pucat pasi karena kehausan. Rasulullah heran karena tangan Abu Dzar menggenggam sebungkus air minum.

“Kamu punya air tetapi kamu tampak kehausan?“, tanya sang Rasul.

“Ya Nabi Allah, di tengah jalan aku sangat kehausan sampai akhirnya menemukan air yang sejuk. Aku khawatir Nabi juga merasakan kehausan yang sama, maka tidaklah adil jika aku meminum air ini sebelum Nabi meminumnya” jawab Abu Dzar.

Subhanallah, begitu besar cinta Abu Dzar kepada sang Nabi.

Setelah Rasulullah wafat, Abu Dzar meninggalkan kota Madinah, untuk berdakwah dan mempertahankan nilai-nilai kehidupan dari kontaminasi kenikmatan dunia. Hidupnya semakin terkucil karena perbedaan pendapat dengan penguasa saat itu. Sabda Rasulullah tentang kesendirian Abu Dzar terbukti, ketika pada tahun 32 H, tiada yang menemani kepergiannya kecuali isteri dan anaknya. Menjelang meninggalnya, beliau berwasiat kepada isteri dan anaknya itu agar keduanya yang memandikan dan mengkafaninya.

Tatkala Abu Dzar meninggal, keduanya pun melakukan apa yang diwasiatkannya, lalu meletakkan beliau di pinggir jalan. Saat itu lewatlah Abdulah bin Mas’ud dan sekelompok rombongan dari Iraq untuk umrah. Mereka menemukan sebuah jenazah di pinggir jalan yang disampingnya ada seekor unta dan seorang anak yang berkata,

“Ini adalah Abu Dzar sahabat Rasulullah, maka tolonglah kami untuk menguburkannya”.

Maka, Abdullah bin Mas’ud pun menangis dan berkata,

“Sungguh telah benar Rasulullah, beliau bersabda bahwa Abu Dzar, dia berjalan pergi sendirian, dan meninggalpun dalam kesendirian, dan akan dibangkitkan dalam kesendirian pula”.

Itulah Abu Dzar Al Ghifari, yang dipuji oleh Rasulullah dalam sebuah sabdanya,

“Bumi tidak pernah menadah dan langit tidak pernah menaungi orang yang lebih jujur daripada Abu Dzar”

Semoga kita bisa mengambil hikmah dari catatan ini

Selasa, 23 November 2010

Dzikir dan Syukur

Allah ta’ala berfirman,
”Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (QS. Al Baqarah [2] : 152).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan,”Dzikir kepada Allah ta’ala yang paling utama adalah dengan menyesuaikan isi hati dengan dzikir yang diucapkan oleh lisan. Itulah dzikir yang dapat membuahkan ma’rifatulloh, rasa cinta kepada-Nya, dan pahala yang melimpah dari-Nya.

Dzikir adalah bagian terpenting dari syukur. Oleh sebab itu Allah memerintahkannya secara khusus, kemudian sesudahnya Allah memerintahkan untuk bersyukur secara umum. Allah berfirman yang artinya,”Maka bersyukurlah kepada-Ku”. Yaitu bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat ini yang telah Aku karuniakan kepada kalian dan atas berbagai macam bencana yang telah Aku singkirkan sehingga tidak menimpa kalian. …”

Disebutkannya perintah untuk bersyukur setelah penyebutan berbagai macam nikmat diniyah yang berupa ilmu, penyucian akhlaq, dan taufik untuk beramal, maka itu menjelaskan bahwa sesungguhnya nikmat diniyah adalah nikmat yang paling agung. Bahkan, itulah nikmat yang sesungguhnya. Apabila nikmat yang lain lenyap, nikmat tersebut masih tetap ada.

Sudah selayaknya setiap orang yang telah mendapatkan taufik (dari Allah) untuk berilmu atau beramal untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat itu. Hal itu supaya Allah menambahkan karunia-Nya kepada mereka. Dan juga, supaya lenyap perasaan ujub (kagum diri) dari diri mereka. Dengan demikian, mereka akan terus disibukkan dengan bersyukur.”

Karena lawan dari syukur adalah ingkar/kufur, Allah pun melarang melakukannya.
Allah berfirman (yang artinya),”Dan janganlah kalian kufur”. Yang dimaksud dengan kata ‘kufur’ di sini adalah yang menjadi lawan dari kata syukur. Maka, itu berarti kufur di sini bermakna tindakan mengingkari nikmat dan menentangnya, tidak menggunakannya dengan baik. Dan bisa jadi maknanya lebih luas daripada itu, sehingga ia mencakup banyak bentuk pengingkaran. Pengingkaran yang paling besar adalah kekafiran kepada Allah, kemudian diikuti oleh berbagai macam perbuatan kemaksiatan yang beraneka ragam jenisnya dari yang berupa kemusyrikan sampai yang ada di bawah-bawahnya.”4

Adh Dhahak bin Qais mengatakan,”Ingatlah kepada Allah di saat senang, niscaya Dia akan mengingat kalian di saat sulit.”5

Ada lelaki berkata kepada Abud Darda’,”Berilah saya wasiat.” Maka Beliau menjawab,”Ingatlah Allah di waktu senang, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan mengingatmu di waktu susah.”6.

Dzikir dan Syukur penopang tegaknya Dinul Islam

Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan di dalam sebuah kitabnya yaitu Al Fawa’id, ”Bangunan Din ini ditopang oleh dua kaidah : Dzikir dan Syukur. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),”Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (QS. Al Baqarah [2] : 152).”

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz,”Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah kamu lupa untuk membaca doa di setiap akhir sholat : ‘Allahumma a’innii ‘ala dzikrika wa syukrika, wa husni ‘ibaadatik.’ (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu, serta agar bisa beribadah dengan baik kepada-Mu)”7.

Bukanlah yang dimaksud dengan dzikir di sini sekedar berdzikir dengan lisan. Namun, dzikir dengan hati sekaligus dengan lisan. Berdzikir / mengingat Allah mencakup mengingat nama-nama dan sifat-sifat-Nya, mengingat perintah dan larangan-Nya, mengingat-Nya dengan membaca firman-firman-Nya. Itu semua tentunya akan melahirkan ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah), keimanan kepada-Nya, serta keimanan kepada kesempurnaan dan keagungan sifat-sifat-Nya. Selain itu, ia akan membuahkan berbagai macam sanjungan yang tertuju kepada-Nya. Sementara itu semua tidak akan sempurna apabila tidak dilandasi dengan ketauhidan kepada-Nya. Maka dzikir yang hakiki pasti akan melahirkan itu semuanya. Dan ia juga akan melahirkan kesadaran mengingat berbagai macam kenikmatan, anugerah, serta perbuatan baik-Nya kepada makhluk-Nya.”

Adapun syukur adalah mengabdi kepada Allah dengan mentaati-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya dengan hal-hal yang dicintai-Nya, baik yang bersifat lahir ataupun batin. Dua perkara inilah simpul ajaran agama. Mengingat-Nya akan melahirkan pengenalan (hamba) kepada-Nya.Dan dalam bersyukur kepada-Nya terkandung ketaatan kepada-Nya. Kedua perkara ini lah tujuan diciptakannya jin dan manusia, langit dan bumi serta segala sesuatu yang berada di antara keduanya. Lawan dari tujuan ini adalah berupa kebatilan (kesia-siaan) dan main-main belaka. Allah Maha tinggi dan Maha suci dari perbuatan semacam itu. Seperti itu lah anggapan buruk yang ada pada diri musuh-musuh-Nya.”

Allah ta’ala berfirman yang artinya,”Dan tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara keduanya sia-sia, itulah yang disangka oleh orang-orang kafir itu.” (QS. Shad [38] : 27).

Allah ta’ala berfirman yang artinya,”Dan tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi serta apa yang berada di antara keduanya sekedar bermain-main saja. Tidaklah Kami menciptakan keduanya kecuali dengan tujuan yang benar.” (QS. Ad Dukhan [44] : 38-39).

Allah ta'alaberfirman setelah menyebutkan tanda-tanda kebesaran-Nya di awal surat Yunus yang artinya,”Tidaklah Allah menciptakan hal itu semua kecuali dengan maksud yang benar.” (QS. Yunus [10] : 5).

Allah ta'ala berfirman yang artinya,”Apakah manusia mengira dia ditinggalkan begitu saja.” (QS. Al Qiyamah [75] : 36).

Allah ta'ala berfirman pula yang artinya,”Apakah kalian mengira kalau Kami menciptakan kalian hanya sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mu’minun [23] : 115).

Allah ta'ala berfirman yang artinya,”Dan tidaklah Kami menciptkan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat [51] : 56)

Maka dengan disebutkannya ayat-ayat tersebut telah terbukti bahwasanya tujuan penciptaan dan perintah ialah agar Allah diingat dan disyukuri. Sehingga Dia akan selalu diingat dan tidak dilupakan. Akan selalu disyukuri dan tidak diingkari. Allah Yang Maha suci akan mengingat siapa saja yang mengingat diri-Nya. Dan Allah juga akan berterima kasih (membalas kebaikan) kepada siapa saja yang bersyukur kepada-Nya.

Mengingat Allah adalah sebab Allah mengingat hamba. Dan bersyukur kepada-Nya adalah sebab Allah menambahkan nikmat-Nya. Maka dzikir lebih terfokus untuk kebaikan hati dan lisan. Syukur dari hati dalam bentuk rasa cinta dan taubat yang disertai ketaatan.

Adapun di lisan, syukur itu akan tampak dalam bentuk pujian dan sanjungan. Dan syukur juga akan muncul dalam bentuk ketaatan dan pengabdian oleh segenap anggota badan.”8.


4 Taisir Karimir Rahman, hal. 74
5 Jami’ul ‘Ulum, hal. 248.
6 Jami’ul ‘Ulum, hal. 248.
7 HR. An Nasa’i [1303] dalam pembahasan Sujud Sahwi, Abu
Dawud [1522] dalam pembahasan Sholat, dan Ahmad [21614] dari
jalan Abdurrahman Al Hubla dari Ash Shonabihi dari Mu’adz bin
Jabal, disahihkan Al Albani dalam Sahih Sunan Abu Dawud. (Tahqiq
Al Fawa’id)
8 Al Fawa’id, hal. 124-125

Kamis, 18 November 2010

Hakekat dan Kesempurnaan Taqwa

Hakekat Taqwa

Ibnul Qayyim Aljauzi rahimahulloh, berkata : " Hakekat Taqwa adalah melaksanakan ketaatan kepada Alloh atas dasar iman dan ihtisab. Baik berupa perintah maupun larangan. Melaksanakan segala yang diperintahkan Alloh seraya mengimani-Nya dan membenarkan janji-Nya, serta meninggalkan apa saja yang dilarang Alloh seraya mengimani-Nya dan membenarkan ancaman-Nya.

Tholaq bin Habib rahimahulloh berkata : “ jika terjadi fitnah, maka padamkanlah fitnah itu dengan taqwa “, orang-orang bertanya padanya : “ apakah taqwa itu ? ” Tholaq menjawab : “ Taqwa adalah hendaknya kamu melaksanakan ketaatan kepada Alloh diatas petunjuk dari Alloh dengan mengharap pahala Alloh, dan hendaknya kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Alloh diatas petunjuk dari Alloh dengan takut kepada hukuman Alloh “.

Setiap amal haruslah ada landasan dan tujuannya. Suatu amal tidak akan bernilai ketaatan dan ibadah sehingga harus benar landasan dan tujuan dari amal tersebut. Landasannya harus hanya iman, bukan karena hawa nafsu, bukan karena mencari pujian maupun kedudukan di mata manusia, motivasinya harus berangkat hanya dari imannya kepada Alloh SWT, dan inilah yang disebut IMAANAN.
Demikian juga dengan tujuan dari amal itu haruslah hanya untuk mengharap pahala dan keridloan Alloh, dan inilah yang disebut dengan IHTISAABAN.
Inilah kiranya sering disebut dua hal pokok ini secara berbarengan, seperti dalam sabda Nabi Muhammad SAW : “ Barangsiapa berpuasa Romadhon karena iman dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu “.

Makna Taqwa didalam Al-Qur’an

Di dalam Al-Qur’an, takwa hadir dengan tiga makna :

1. Khasyyah ( rasa takut berbalut cinta ) dan Haibah ( rasa takut berbalut pengagungan ).
Alloh berfirman : “ Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Qur'an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa “ ( Al-Baqoroh : 41 ). Taqwa disini bermakna Khasyyah ( rasa takut berbalut cinta )

Alloh berfirman : “Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan) “ ( Al-Baqoroh : 281 ). Taqwa disini bermakna Haibah ( rasa takut berbalut pengagungan ).

2. Taat dan ibadah
Alloh berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam “ ( Ali-imron : 102 ).

Ibnu Abbas rahimahulloh menafsiri ayat ini dengan mengatakan : “ Taatilah Alloh dengan sebenar-benar ketaatan “. Mujahid mengatakan : “ yakni Alloh ditaati dan tidak dihurhakai, diingat dan tidak dilupakan serta disyukuri dan tidak dikufuri “.

Ibnu Rajab rahimahulloh mengatakan : “ melaksanakan segala bentuk ketaatan masuk ke dalam bagian mensyukuri-Nya. Makna mengingat-Nya dan tidak melupakan-Nya adalah mengingat segala perintah Alloh dengan hati, baik berkaitan dengan gerak geriknya, diamnya, maupun ucapannya, lalu dia mewujudkannya dalam amal. Juga mengingat segala larangan Alloh lalu dia menjauhinya “ .

3. Membersihkan hati dari berbagai dosa
Alloh berfirman : “ Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan “ ( An-Nur : 52 ).

Pada ayat diatas, Alloh SWT menyebut ketaatan lalu khasyyah dan kemudian menyebut taqwa. Dari sini dapat diketahui, bahwa hakekat taqwa disamping ketaatan dan khasyyah adalah membersihkan hati dari berbagai dosa.

Kesempurnaan Taqwa

Abu Darda’ Radhiallohu anhu berkata :
“ Sempurnanya taqwa adalah jika seorang hamba bertaqwa kepada Alloh sampai pada perkara seberat biji sawi, sampai dia meninggalkan sebagian perkara yang dia lihat sebagai sesuatu yang halal lantaran khawatir jika ternyata itu adalah perkara haram, sehingga kiranya dapat menjdi penghalang antara dirinya dengan yang haram. Alloh berfirman : “ Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula “ ( Al-Zalzalah : 7-8 ). Maka janganlah kamu menyepelekan satu kebaikanpun untuk kamu kerjakan dan jangan pula menyepelekan satu kejahatanpun untuk kamu jauhi “.

Abu Hurairah Radhiallohu anhu ketika beliau ditanya tentang taqwa, maka beliau berkata : “ Pernahkah engkau melewati jalan yang berduri ? apa yang kamu lakukan ? maka orang yang bertanya menjawab : “ jika ku lihat ada duri maka aku akan menjauhinya supaya aku tidak menginjaknya “. Maka Abu Hurairoh berkata : “ seperti itulah taqwa “.

Al-Hasan rahimahulloh berkata : “ Taqwa melekat pada orang-orang yang bertaqwa sehingga mereka meninggalkan banyak perkara yang halal lantaran takut terperosok kepada yang haram “.

Sofyan Atsauri rahimahulloh berkata : “ Mereka disebut sebagai orang-orang yang bertaqwa karena mereka menjaga diri dari perkara-perkara yang sebenarnya tidak mengapa dilakukan “.

Musa bin A’yun rahimahulloh berkata : “ Orang-orang yang bertaqwa menjauhi berbagai perkara yang halal lantaran takut terjerumus kepada yang haram. Oleh karena itulah Alloh menyebut mereka sebagai orang-orang yang bertaqwa “.

Maimun bin mihran rahimahulloh berkata : “ Seorang yang bertaqwa lebih mengintropeksi dirinya dari pada seorang sekutu yang bakhil meneliti sekutunya “.

Senandung buat jiwaku...


Wahai jiwa…

apakah yang kau cari?

di usia yang semakin mendekat

ditengah kebanggaan yang semakin sirna

ditengah kecantikan dan ketampanan yang semakin memudar

ditengah kulit yang semakin berkerut

diatas langkah yang semakin melemah

Wahai jiwa…

bagaimana engkau merasa bangga akan dunia yang sementara

bagaimana bila semua hilang dan pergi meninggalkan dirimu

bagaimana bila waktu terhenti tak kau sadari

Ingatlah…

detik demi detik yang selalu memburu

detik yang tak akan pernah kembali kepadamu

bila waktu telah memanggil

yang menyertai hanyalah amal

Wahai jiwa…

janganlah terlena oleh kesibukan dunia

janganlah kau lewatkan waktu muda dalam kealpaan

sedang masa tua dalam tangis penyesalan

Ya Robbi...

bimbinglah dalam sisa langkahku

ampunilah dan maafkanlah dosa-dosaku

sebelum waktuku berhenti...